Tembilahan Tenggelam Setiap Tahun, Pemerintah Terlihat Tenang Seperti Penontonnya
Jalanan yang berubah menjadi sungai. Parit yang tak lagi menampung air. Rumah-rumah warga yang dipenuhi genangan. Namun di balik kekacauan itu, ada satu fenomena yang terus berulang yaitu anak-anak yang menjadikan banjir sebagai wahana bermain.
Di banyak titik, pemandangan tawa dan percikan air menghiasi hari-hari banjir. Anak-anak berlari, melompat, berenang seolah-olah kota mereka sedang menggelar festival air tahunan.
“Seru bang, tinggi airnya!” celetuk seorang bocah sambil menceburkan diri ke genangan setinggi pinggang orang dewasa.
Kegembiraan itu seolah menjadi ironi bagi para orang tua. Ketika anak-anak merayakan banjir, mereka justru sibuk menyelamatkan barang, menahan air masuk dari pintu, memasang pengganjal, mencari kayu untuk menjaga kompor tetap kering, hingga memikirkan resiko penyakit.
“Buat anak-anak ini hiburan. Buat kami, ini bencana. Tapi yang lebih parah, pemerintah seperti ikut-ikutan lihat ini sebagai hiburan,” kata warga Tembilahan Hulu.
Keluhan warga itu bukan tanpa alasan. Tiap tahun banjir datang, tapi jarang terlihat kebijakan yang benar-benar menyentuh akar masalah.
Drainase yang dangkal, sedimentasi sungai yang menumpuk, pembangunan tanpa tata ruang, hingga daerah pasang-surut yang tak pernah ditangani serius, semuanya seperti dibiarkan berjalan apa adanya.
“Anak-anak tak tahu apa-apa, jadi wajar kalau mereka senang. Tapi ketika pemerintah tampak santai, seolah banjir ini cuma tontonan musiman, di situ letak sakit hatinya,” lanjut seorang warga lainnya.
Banjir di Tembilahan memang sudah seperti “wisata berwaktu”, muncul di kalender yang sama, dengan pola yang sama, tanpa solusi yang berubah. Warga bahkan mulai merasa pemerintah daerah sekadar menunggu air surut secara alami, tanpa upaya struktural yang terukur.
Ironinya, yang tampak bergerak justru anak-anak. Mereka yang paling minim pemahaman justru paling terlihat menikmati keadaan. Sementara yang memiliki kewenangan justru paling minim tindakan.
“Kalau pemerintah cuma datang foto, buat laporan, habis itu hilang, itu bukan penanganan. Itu tamasya,” kata seorang tokoh masyarakat dengan nada geram.
Fenomena ini memberikan gambaran kontras:
- Anak-anak menikmati banjir karena dunia mereka memang penuh permainan.
- Orang tua menderita karena banjir menghantam kebutuhan hidup mereka.
- Pemerintah tampak tenang, seperti penonton yang sudah hafal alur film, tanpa niat mengubah ending-nya.
Tahun demi tahun air datang, masuk rumah, merendam aktivitas, dan memaksa warga bertahan.
Namun tindakan nyata tetap sebatas janji, rapat, dan wacana proyek. Sementara itu, anak-anak akan terus tertawa di atas banjir yang sama, di kota yang sama, yang tak kunjung dibenahi.
Dan di sinilah ironi terbesar itu berada yaitu ketika pemerintah setenang anak-anak yang bermain air, warga lah yang tenggelam dalam masalah yang seharusnya sudah lama diselesaikan. (R)
