RIAUTODAYS, KARANGASEM (BALI) - Sebuah surat terbuka yang ditulis oleh I Nyoman Kantun Suyasa, Penasehat Hukum keluarga besar Almarhum I Ketut Rundung, mengejutkan publik Bali.
Dalam surat yang kini viral di kalangan pegiat hukum dan masyarakat adat itu, Kantun menyerukan penghentian eksekusi tanah warisan leluhur seluas lebih dari 6.000 meter persegi, yang diduga hendak "dirampas secara sah" lewat proses hukum yang cacat substansi dan prosedur.
Surat ini tidak sekadar menggugah, tetapi mengguncang kesadaran publik akan bahaya penindasan hukum atas rakyat kecil, yang kerap terjadi dalam diam dan ketidaktahuan masyarakat.
Tanah Warisan Dikuasai Puluhan Tahun, Tiba-Tiba Mau Dieksekusi
Tanah yang telah dikelola secara turun-temurun selama lebih dari 50 tahun oleh keluarga besar I Ketut Rundung, tiba-tiba masuk dalam agenda eksekusi pengadilan berdasarkan gugatan yang dinilai janggal.
“Tanah kami telah kami kuasai secara nyata sejak puluhan tahun lalu. Tapi kini hendak diambil atas dasar SPPT milik pihak lain, yang bahkan berbeda bentuk dan batasnya,” kata Kantun dalam suratnya.
SPPT Dipertentangkan, Data Tumpang Tindih, Rakyat Jadi Korban
Dalam suratnya, Kantun membeberkan bahwa objek gugatan berasal dari SPPT atas nama I Ramia, berbentuk “kapak” dengan luas 8.150 m². Sementara, SPPT milik keluarga Rundung yang berbentuk “kotak” dengan luas 6.120 m², telah terdaftar sah namun mendadak dibatalkan oleh BPKAD Karangasem karena alasan tumpang tindih.
“Berdasarkan peta blok BPKAD, objek yang hendak dieksekusi justru tidak sesuai dengan lokasi yang digugat. Ini jelas manipulatif!” tegasnya.
Wakil Rakyat Diam, Rakyat Kecil Teriak
Yang lebih menyakitkan, menurut Kantun, DPRD Karangasem tidak memberi tanggapan apapun meski sudah menerima pengaduan resmi.
Padahal, keberpihakan lembaga legislatif sangat diharapkan dalam membela hak-hak masyarakat yang dilemahkan oleh permainan administratif.
“Apakah suara rakyat kecil tak lagi bernilai? Apakah keadilan hanya milik mereka yang memiliki akses dan kuasa?” tulisnya lantang.
Hukum Dibajak? Eksekusi Tak Sesuai Objek Putusan
Surat itu juga mengutip pasal-pasal penting seperti Pasal 28D UUD 1945, Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman, hingga Pasal 199 HIR, yang menegaskan bahwa eksekusi hanya bisa dilakukan pada objek yang tepat dan sesuai dengan putusan pengadilan.
“Kami bukan pembangkang hukum. Kami hanya membela kebenaran dan hak leluhur kami yang sah,” ujar Kantun.
Seruan untuk Para Pemimpin dan Penegak Keadilan
I Nyoman Kantun menyampaikan seruan tegas kepada: Ketua PN Amlapura, untuk menunda dan meninjau ulang eksekusi. Kepala BPKAD Karangasem, agar membuka data peta blok secara transparan. BPN Karangasem, agar mengungkap hasil ukur resmi dan objektif. DPRD Karangasem, agar menjalankan fungsi kontrolnya dan tidak hanya duduk diam.
Ia juga menyerukan kepada tokoh adat, media, LSM, dan akademisi untuk ikut mengawal proses ini demi keadilan rakyat Bali.
"Kami Bukan Mafia Tanah. Kami Anak Leluhur yang Terpinggirkan!"
Dengan suara menggugat, surat itu ditutup dengan pernyataan keras:
“Kami bukan mafia tanah! Kami bukan perampas! Kami adalah anak cucu yang mempertahankan warisan sah dari leluhur kami. Jika semua pihak memilih diam, suara kami akan menggema lebih keras di media, di jalan, dan di hati nurani bangsa!”
Peringatan Terbuka: Hukum Bukan Alat Kekuasaan!
Kisah ini bukan hanya tentang sengketa tanah. Ini tentang bagaimana hukum bisa menjadi alat ketidakadilan, jika rakyat tidak bersuara.
Surat terbuka ini adalah panggilan untuk setiap nurani yang masih hidup, agar tidak membiarkan hukum dibajak oleh kepentingan tersembunyi. (*/Marno)