RIAUTODAYS, TEMBILAHAN – Suasana malam di Kota Tembilahan kian semarak dalam beberapa bulan terakhir.
Warung-warung angkringan berlampu temaram menjamur di sepanjang jalan utama, menjadi tempat nongkrong warga sambil menikmati kopi, teh, dan nasi kucing.
Namun di balik geliat ekonomi rakyat ini, terselip persoalan serius yaitu banyak angkringan berdiri di atas bahu dan badan jalan umum.
Fenomena di Lapangan
Hasil pantauan pada Kamis malam (3/10/2025) mencatat lebih dari 25 angkringan beroperasi di titik-titik padat seperti Jalan Baharuddin Yusuf, Jalan Swarna Bumi, Jalan M. Boya, dan Jalan Jenderal Sudirman.
Sebagian besar pedagang memanfaatkan bahu jalan untuk meletakkan gerobak, meja, dan kursi plastik bagi pembeli.
Tak jarang, kendaraan pengunjung yang parkir sembarangan turut menutup sebagian badan jalan, menyebabkan arus lalu lintas tersendat antara pukul 19.00 hingga 23.00 WIB.
Kondisi semakin diperparah oleh minimnya fasilitas kebersihan dan penerangan, sehingga area tersebut tampak kumuh dan berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Pandangan Ahli Hukum
Menanggapi situasi itu, Dr. Ali Azhar, S.Sos., M.H., M.M., dosen Pascasarjana Universitas Islam Indragiri (UNISI) dan pakar hukum tata pemerintahan daerah, memberikan pandangan dari sisi hukum dan tata kota.
“Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dijelaskan bahwa jalan diperuntukkan bagi lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Jika digunakan untuk berjualan, maka fungsi jalan terganggu. Ini termasuk pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU tersebut,” jelas Dr. Ali Azhar saat ditemui di Kampus UNISI, Jumat (4/10/2025).
Ia menegaskan, meskipun angkringan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat kecil, bukan berarti boleh mengabaikan aturan hukum dan ketertiban umum.
“Pemerintah daerah tetap berkewajiban menegakkan hukum dan menjaga fungsi ruang publik. Namun penertiban jangan dilakukan secara keras atau mendadak. Harus ada solusi yang manusiawi dan terencana,” ujarnya.
Dasar Hukum Penataan PKL
Dr. Ali mengingatkan bahwa pemerintah daerah memiliki dasar hukum kuat untuk menata pedagang kaki lima (PKL), termasuk angkringan, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan PKL.
Dalam peraturan itu ditegaskan bahwa pemerintah daerah berhak dan berkewajiban:
1. Menetapkan lokasi usaha PKL yang aman dan tertib,
2. Menyediakan fasilitas pendukung seperti tempat sampah, penerangan, dan sanitasi, serta
3. Melakukan pembinaan agar pedagang kecil dapat berusaha secara legal.
“Permendagri ini tidak hanya menekankan aspek penertiban, tapi juga perlindungan. PKL harus dibina agar bisa berkembang dalam koridor hukum,” ujarnya.
Kesenjangan Kebijakan di Daerah
Menurut Dr. Ali, kondisi Tembilahan menunjukkan masih adanya jarak antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. Meskipun Satpol PP beberapa kali melakukan penertiban, langkah tersebut belum diikuti penataan yang sistematis dan berkelanjutan.
“Masalahnya bukan semata soal ketertiban, tapi juga ruang ekonomi. Banyak pedagang tidak punya tempat alternatif untuk berjualan. Wajar kalau mereka kembali ke pinggir jalan setelah ditertibkan,” tuturnya.
Ia menilai, diperlukan koordinasi lintas dinas, Satpol PP, Dinas Perdagangan, Dinas Perhubungan, dan Bappeda, agar penanganan masalah angkringan ini tidak bersifat sektoral, melainkan menjadi kebijakan terpadu pemerintah daerah.
Saran Solusi dan Kebijakan
Sebagai akademisi, Dr. Ali Azhar mengajukan sejumlah rekomendasi strategis:
1. Penegakan hukum secara persuasif.
Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pendekatan terlebih dahulu kepada pedagang sebelum melakukan penertiban.
2. Pembentukan Zona Kuliner Malam Tembilahan.
Ia menyarankan dibentuknya “Night Market Tembilahan”, kawasan kuliner malam yang teratur, higienis, dan memiliki fasilitas parkir memadai.
Lokasinya bisa di area yang tidak padat lalu lintas seperti taman kota, pelataran pasar malam hari, atau halaman stadion.
3. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Khusus.
Dengan adanya perda tentang penataan dan pemberdayaan PKL, pemerintah akan memiliki dasar hukum yang lebih kuat dalam menata, memberikan izin usaha, serta menerapkan sanksi jika terjadi pelanggaran.
4. Penyediaan fasilitas dan pembinaan.
Pemerintah juga dapat memberikan pelatihan tentang kebersihan, manajemen usaha kecil, dan menyediakan peralatan pendukung seperti tenda seragam serta tempat sampah.
“Kalau ditata dengan baik, angkringan bisa menjadi potensi wisata kuliner malam yang menarik di Tembilahan. Tapi kuncinya adalah pengaturan, bukan pembiaran,” tegasnya.
Kesimpulan
Fenomena maraknya angkringan di Tembilahan mencerminkan tumbuhnya ekonomi rakyat, namun juga menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menjaga ketertiban dan tata ruang kota.
Dr. Ali Azhar menegaskan, pendekatan hukum yang humanis dan kebijakan yang terencana menjadi kunci agar ekonomi rakyat tetap tumbuh tanpa mengorbankan ketertiban umum.
Dengan langkah bijak dan terarah, Tembilahan berpeluang menjadikan kuliner malam sebagai ikon kota yang tertib, bersih, dan berdaya saing.