RIAUTODAYS, Pemberhentian Kepala Desa Niur Permai, Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir pada tanggal 17 Mei 2025 melalui Musyawarah Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
BPD mengambil sikap tegas dengan menyatakan bahwa kepala desa tersebut telah gagal menyelesaikan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun anggaran 2024.
Atas dasar itu, BPD mengusulkan Pemberhentian kepala desa dan mengusulkan pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa kepada pemerintah daerah.
Langkah ini perlu dicermati secara hukum terkait legalitas prosedur pemberhentian kepala desa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara normatif, pemberhentian kepala desa telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pasal 29 UU Desa menyebutkan bahwa kepala desa dapat diberhentikan apabila: a) berakhir masa jabatannya, b) meninggal dunia, atau c) diberhentikan.
Pemberhentian dapat dilakukan apabila kepala desa melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pasal 29 huruf a sampai huruf j, termasuk di dalamnya menyalahgunakan wewenang, melakukan perbuatan merugikan keuangan desa, dan tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa.
Terkait hal ini, perlu dicermati apakah kegagalan menyelesaikan SiLPA dapat dikategorikan sebagai bentuk kelalaian atau pelanggaran terhadap kewenangan atau kewajiban kepala desa.
Pasal 26 ayat (4) UU Desa mengatur bahwa kepala desa berwenang menyelenggarakan pemerintahan desa yang bersih dan transparan.
Maka, kegagalan menyelesaikan SiLPA bisa dikaji sebagai indikasi tidak tertib dalam pengelolaan keuangan desa.
Namun, hal ini tetap harus dibuktikan melalui mekanisme pemeriksaan dan evaluasi dan kajian yang objektif oleh Bupati/Walikota, bukan hanya melalui penilaian sepihak oleh BPD.
Permendagri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa memperjelas mekanisme pemberhentian kepala desa.
Pasal 8 menyebutkan bahwa BPD dapat mengusulkan pemberhentian kepala desa kepada bupati/wali kota berdasarkan hasil musyawarah desa yang dituangkan dalam berita acara.
Selanjutnya, menegaskan bahwa bupati/wali kota harus melakukan verifikasi terhadap usulan tersebut, termasuk meminta klarifikasi dari kepala desa yang bersangkutan.
Dengan demikian, usulan pemberhentian yang dilakukan oleh BPD Desa Niur Permai belum serta-merta mengakhiri jabatan kepala desa secara langsung.
Dalam hal ini, keputusan pemberhentian tetap berada di tangan bupati setelah melalui proses verifikasi dan klarifikasi atas usulan BPD sesuai dengan Pasal 8 Permendagri Nomor 82 Tahun 2015.
Mekanisme ini dimaksudkan untuk melindungi kepala desa dari pemberhentian yang tidak berdasar mekanisme dan prosedur hukum atau dapat di duga bersifat politis semata.
Terkait pengusulan Plt Kepala Desa oleh BPD, hal ini juga menimbulkan permasalahan dalam persfektif hukum.
BPD tidak memiliki kewenangan untuk menunjuk atau mengusulkan secara langsung Plt Kepala Desa.
Penunjukan Plt adalah kewenangan bupati setelah kepala desa diberhentikan secara sah sesuai prosedur hukum yang diatur melalui peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, apabila proses verifikasi oleh bupati belum selesai dan belum ada keputusan resmi, maka pengusulan pengangkatan Plt yang diusulkan BPD dapat dianggap tidak sah secara hukum.
Status kepala desa pasca keputusan BPD juga perlu ditegaskan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kepala desa masih berstatus aktif sebelum adanya keputusan resmi dari bupati mengenai pemberhentiannya.
BPD hanya bersifat mengusulkan, bukan memutuskan. Selama belum terbitnya surat keputusan pemberhentian dari bupati, maka kepala desa tetap memegang jabatannya dan memiliki kewenangan penuh sebagai kepala desa.
Kasus ini menunjukkan pentingnya memahami dan menjalankan mekanisme hukum secara tepat dalam tata kelola pemerintahan desa.
Sebab langkah BPD yang sudah di putuskan tersebut dapat menimbulkan ketegangan antar lembaga desa serta ketidakpastian hukum dalam administrasi pemerintahan desa.
Oleh sebab itu, semua pihak harus mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku guna menjaga stabilitas dan akuntabilitas di tingkat pemerintahan desa. (*)
Penulis: Jamri, SH. MH (Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indragiri)