Penangkapan Gubernur Riau: Antara Penegakan Hukum dan Pembungkaman Suara Daerah

Ilustrasi 

RIAUTODAYS, Opini - Penangkapan Gubernur Riau, Abdul Wahid, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang publik Bumi Lancang Kuning.

Peristiwa ini terjadi di tengah menguatnya aspirasi masyarakat Riau yang menuntut keadilan pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dan mengemukanya wacana pembentukan Daerah Istimewa Riau (DIR).

Langkah hukum terhadap Wahid menimbulkan beragam tafsir. Sebagian kalangan melihatnya sebagai bentuk penegakan hukum, namun ada pula yang memandangnya sebagai bagian dari dinamika politik pusat-daerah yang lebih kompleks.

Abdul Wahid dikenal sebagai sosok yang vokal memperjuangkan hak-hak daerah, terutama terkait ketimpangan pembagian hasil sumber daya alam.

Dalam berbagai kesempatan, ia menyuarakan keresahan masyarakat Riau bahwa kekayaan alam daerah belum sepenuhnya memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Jalan-jalan yang rusak, angka kemiskinan, dan ketimpangan pembangunan masih menjadi kenyataan yang sulit diabaikan. Sementara itu, sebagian besar hasil migas terus mengalir ke pusat.

Sikap tegas dan lantang Wahid membuatnya dihormati oleh banyak rakyat Riau, namun di sisi lain mungkin dianggap “mengganggu kenyamanan” pihak-pihak tertentu di tingkat pusat.

Publik tidak bisa melupakan kasus yang menimpa Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil.

Ia juga dikenal berani menyuarakan kritik tajam terhadap kebijakan DBH Migas yang dianggap tidak adil. Tak lama setelah kritik tersebut ramai diperbincangkan, ia pun terjerat kasus hukum.

Meskipun setiap kasus tentu memiliki aspek hukum yang berbeda, masyarakat tak bisa menutup mata terhadap kemiripan pola yang muncul, di mana pejabat daerah yang vokal memperjuangkan keadilan ekonomi justru berujung pada penindakan hukum.

Hal ini memunculkan pertanyaan reflektif di tengah masyarakat. Apakah setiap suara daerah yang menuntut keadilan harus berakhir dalam senyap melalui proses hukum?

Rakyat Riau tentu mendukung pemberantasan korupsi. Tidak ada satu pun masyarakat yang menginginkan pejabatnya bersih dari hukum jika memang terbukti melakukan pelanggaran.

Namun di sisi lain, masyarakat juga berharap hukum dijalankan dengan objektif, transparan, dan bebas dari kepentingan politik.

Ketika penegakan hukum beririsan dengan isu-isu politik dan ekonomi daerah, muncul persepsi bahwa hukum kadang dijadikan alat kekuasaan, bukan alat keadilan.

Persepsi inilah yang berbahaya, karena dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum itu sendiri.

Wacana Daerah Istimewa Riau sejatinya bukan bentuk perlawanan politik, tetapi ekspresi kekecewaan terhadap ketimpangan struktural yang dirasakan selama puluhan tahun.

Abdul Wahid dan Muhammad Adil hanyalah dua dari sekian banyak figur yang berani menyuarakan hal tersebut.

Di balik mereka, ada semangat besar rakyat Riau untuk mendapatkan haknya secara adil dan bermartabat. Jika aspirasi ini terus diabaikan, maka bukan ketertiban yang tumbuh, melainkan rasa ketidakpercayaan yang makin dalam.

Sejarah telah menunjukkan, bahwa suara rakyat yang dibungkam tidak pernah benar-benar hilang, ia hanya menunggu waktu untuk bergema lebih keras. (Rian S)


(Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, tidak bermaksud menuduh atau memojokkan pihak mana pun. Opini ini dimaksudkan sebagai refleksi atas hubungan pusat dan daerah, serta pentingnya menjaga keadilan dalam penegakan hukum dan pengelolaan sumber daya alam.)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Diskominfo PS Inhil

Nov

Formulir Kontak