Oleh : Amir Santoso
Puluhan partai politik berdesakan di panggung kekuasaan. Mereka berteriak soal rakyat, tetapi sibuk bernegosiasi soal kursi. Mereka bicara ideologi, tetapi berbaris rapi saat pembagian jabatan. Inilah paradoks demokrasi Indonesia: terlalu banyak partai, terlalu sedikit kepemimpinan.
Koalisi Gemuk, Pemerintahan Lumpuh
Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi sering “disandera” parlemen. Untuk sekadar menjalankan program, pemerintah harus memelihara koalisi gemuk yang rapuh dan penuh ancaman. Sedikit berbeda sikap, koalisi bisa pecah. Sedikit berani tegas, dukungan bisa ditarik.
Soekarno sudah lama mengingatkan bahaya ini:
“Partai-partai yang terlalu banyak hanya akan menanam benih perpecahan dan menghambat kerja negara.”
Hari ini, peringatan itu terasa nyata. Negara berjalan tertatih karena energi elite habis untuk menjaga koalisi, bukan melayani rakyat.
Politik Tanpa Ideologi, Kekuasaan Tanpa Malu
Mari jujur : sebagian besar partai di Indonesia nyaris tak bisa dibedakan kecuali dari logo dan tokohnya. Ideologi hanya jargon kampanye. Setelah pemilu usai, yang tersisa adalah politik dagang sapi.
Mohammad Hatta pernah menegaskan : “Demokrasi akan mati bila partai politik kehilangan moral dan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.”
Ketika partai lebih sibuk menghitung jatah menteri daripada memperjuangkan kebijakan publik, demokrasi berubah menjadi pasar kekuasaan. Rakyat hanya penonton lima tahunan.
Perpecahan Dipelihara, Bukan Disembuhkan. Sistem multi partai ekstrem menciptakan kompetisi tanpa batas. Demi suara, semua cara sah: memainkan isu agama, identitas, bahkan kebencian. Media sosial berubah menjadi arena propaganda, hoaks, dan adu domba.
Ironisnya, konflik ini tidak pernah benar-benar diselesaikan, karena perpecahan adalah bahan bakar elektoral.
BJ Habibie pernah mengingatkan dengan nada serius: “Bangsa ini tidak akan hancur oleh musuh dari luar, tetapi oleh konflik internal yang dibiarkan.” Namun justru konflik internal itu terus dirawat oleh elite politik yang hidup dari polarisasi.
Parlemen: Terlalu Ramai untuk Bekerja
Dengan terlalu banyak fraksi, DPR berubah menjadi ruang debat tanpa akhir. Satu undang-undang bisa tersandera bertahun-tahun. Kepentingan rakyat kalah oleh kepentingan partai. Negara kalah cepat dari masalah.
Di era krisis global, negara yang lamban adalah negara yang kalah. Demokrasi Tidak Diukur dari Banyaknya Partai
Ini bukan seruan membunuh demokrasi. Justru sebaliknya. Demokrasi yang sehat butuh penyederhanaan, bukan kebablasan. Banyak negara demokrasi maju justru stabil dengan sedikit partai kuat yang jelas ideologinya dan bertanggung jawab pada publik.
Soekarno pernah berkata: “Demokrasi bukan soal suara terbanyak, tetapi keberanian mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat.”
Pertanyaannya sekarang: apakah sistem multi partai kita masih melayani rakyat, atau hanya melayani elite?
Berani Membatasi Demi Menyelamatkan
Indonesia tidak kekurangan partai. Indonesia kekurangan ketegasan sistem. Jika kita terus membiarkan demokrasi menjadi arena rebutan kekuasaan, jangan heran bila rakyat makin apatis dan negara makin lemah.
Penyederhanaan partai bukan kemunduran demokrasi. Justru itu langkah penyelamatan. Karena demokrasi yang terlalu ramai bisa berubah menjadi kekacauan yang sah secara konstitusional.
Dan sejarah mengajarkan satu hal pahit:
negara jarang runtuh karena kurang kebebasan, tetapi sering hancur karena kebebasan tanpa kendali. (Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya; mantan anggota DPR/MPR).
