Kejaksaan Negeri Inhil Disomasi Terpidana Agus karena Tak Diberi Pendampingan Hukum

Foto Kantor Kejaksaan Negeri Tembilahan pada tahun 2023 

RIAUTODAYS, Tembilahan – Kasus pencurian yang menjerat Agus bin Kadri (60), warga Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, kini memasuki babak baru. 

Setelah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Tembilahan dan dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara, Agus mengajukan somasi terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Tembilahan. 

Ia mengklaim tak mendapat pendampingan hukum saat menjalani pemeriksaan di tingkat kejaksaan.

Dalam wawancara eksklusif dengan awak media, Agus mengaku tidak pernah diberi tawaran pendampingan hukum usai berkas perkaranya dinyatakan lengkap (P21) dan dilimpahkan ke Kejari Tembilahan. 

Sambil menangis, ia menceritakan bagaimana dirinya merasa dibiarkan menjalani proses hukum tanpa perlindungan.

“Saya tidak pernah ditawari soal penasehat hukum. Tidak ada yang mendampingi saya saat diperiksa di kejaksaan. Saya cuma ditanya, apa permohonan bapak kalau nanti dituntut. Soal pembelaan, tidak ada satu pun yang menjelaskan,” ungkap Agus dengan suara parau, Rabu (30/7/2025).

Sebagai warga tidak mampu, Agus merasa terpinggirkan dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil dalam proses hukum. 

Ia juga mengaku tidak mengerti prosedur dan hak-haknya sebagai tersangka, apalagi untuk mengajukan bantuan hukum secara formal.

Agus ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencurian oleh pihak perusahaan PT IJA. Ia mengaku dijebak dan dipanggil ke kantor perusahaan untuk mediasi, namun tanpa diduga justru ditangkap oleh polisi yang tiba-tiba datang ke lokasi. 

Ia menduga kuat bahwa penangkapannya merupakan bagian dari skenario pihak perusahaan, bukan berdasarkan hasil penyelidikan independen oleh penegak hukum.

“Polisi tidak tahu apa-apa sebelumnya. Saya dipanggil untuk bicara, eh tahu-tahu ditangkap polisi di  situ juga . Saya orang bodoh, tak paham apa-apa, dan tak punya siapa-siapa,” tambah Agus.

Yang menjadi sorotan adalah dugaan pelanggaran terhadap Pasal 56 ayat (1) KUHAP, yang mengatur bahwa setiap tersangka atau terdakwa yang tidak mampu secara ekonomi dan diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, wajib mendapatkan bantuan penasihat hukum secara cuma-cuma dari aparat penegak hukum.

Dalam kasus Agus, pasal yang didakwakan adalah Pasal 362 KUHP tentang pencurian, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun. 

Namun, ia menyatakan tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum dari sejak awal proses di kejaksaan, yang menurutnya seharusnya menjadi kewajiban aparat.

Karena itulah, Agus resmi mengajukan surat somasi tertanggal 28 Juli 2025 kepada Kepala Kejari Tembilahan. Ia menuntut pertanggungjawaban atas proses pemeriksaan yang dianggap cacat secara hukum. Jika somasinya tidak ditanggapi, Agus menyatakan akan membawa persoalan ini ke Komnas HAM RI dan Komisi Kejaksaan RI.

Diwaktu yang berbeda, Kepala Kejaksaan Negeri Inhil, Nova Fuspitasari, SH, MH, saat dikonfirmasi enggan memberikan komentar langsung dan meminta agar media menghubungi Kasi Intel Kejari Inhil.

Saat ditemui di kantor Kejari Inhil pada Rabu (30/7/2025), Kasi Intelijen Kejari Inhil, Erik Rusnandar, SH, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima somasi dari Agus. Namun menurutnya, somasi tersebut sudah tidak relevan karena perkara Agus telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

“Kita sudah punya bukti bahwa pendampingan hukum sudah ditawarkan ke yang bersangkutan. Tapi dia menolak, jadi proses tetap berjalan. Sekarang sudah inkrah, harusnya kalau tidak puas, ajukan banding atau PK, bukan somasi. Itu hak dia,” ujar Erik singkat.

Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan pengakuan Agus yang mengaku tak pernah ditawari pendampingan hukum sama sekali. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum terhadap warga miskin yang rentan terhadap pelanggaran hak.

Kasus Agus bin Kadri membuka kembali diskursus tentang akses terhadap keadilan, khususnya bagi masyarakat miskin dan buta hukum. Meski konstitusi dan peraturan perundang-undangan menjamin hak atas bantuan hukum, implementasinya di lapangan masih sering diabaikan.

Jika benar pendampingan hukum tidak diberikan, maka hal ini bukan hanya mencederai keadilan prosedural, tetapi juga menjadi catatan buruk bagi sistem peradilan pidana Indonesia. 

Sebaliknya, jika penawaran pendampingan memang pernah dilakukan dan ditolak, maka dokumen atau bukti administratifnya harus dibuka ke publik agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi.

Kasus ini kini menjadi cerminan penting bagi aparat penegak hukum untuk kembali menegaskan prinsip keadilan yang tidak hanya berlaku bagi yang kuat, tapi juga yang lemah dan tak bersuara. (Tim)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Diskominfo PS Inhil

Juli

Diskominfo PS Inhil

Juli

Juni

Formulir Kontak