RIAUTODAYS, Teluk Kuantan – Dari udara, hamparan hijau di sebagian wilayah Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, kini tercabik.
Sungai yang dahulu menjadi urat nadi kehidupan masyarakat berubah keruh, berwarna cokelat pekat, dengan jejak lubang-lubang besar bak “kubangan kerbau”.
Inilah potret nyata kerusakan akibat Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang kian sulit dikendalikan.
Empat Desa Jadi Korban
Kecamatan Kuantan Hilir Seberang (KHS) menjadi salah satu episentrum kerusakan. Empat desa yakni Kasang Limau Sundai, Koto Rajo, Teratak Jering, dan Rawang Oguong kini masuk daftar wilayah kritis. Ratusan rakit PETI masih berjejer di aliran sungai, bekerja tanpa henti, seolah bebas dari pantauan hukum.
Bagi warga, kondisi ini bukan sekadar masalah lingkungan. Air bersih semakin sulit didapat, lahan pertanian menurun produktivitasnya, dan kesehatan masyarakat kian terancam.
“Kami khawatir anak cucu nanti tidak lagi bisa menikmati sungai yang dulu jadi sumber kehidupan,” ujar Rudi, salah seorang warga Desa Teratak Jering, Minggu (14/9/2025).
Deklarasi Tinggal Slogan
Beberapa waktu lalu, aparat dan pemerintah daerah sempat menggelar deklarasi pemberantasan PETI dengan janji tegas, Kuansing harus bersih dari tambang ilegal.
Namun, deklarasi itu kini terdengar hambar. Aktivitas PETI justru terus berdenyut, seakan tak terganggu oleh janji maupun razia sesaat.
“Deklarasi itu cuma seremonial. Faktanya, tambang ilegal masih berjalan. Kalau serius, harus ada tindakan nyata yang konsisten, bukan simbolik,” kritik salah satu aktivis lingkungan di Kuansing.
Kucing-Kucingan Tanpa Akhir
Pola yang muncul sudah klasik, aparat menggelar razia, para penambang kabur, lalu beberapa hari kemudian aktivitas kembali normal.
Siklus ini berulang tanpa ujung. Sementara itu, peralatan berat dan rakit-rakit PETI tetap beroperasi di titik-titik rawan.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius, apakah aparat benar-benar kekurangan daya untuk menindak, atau ada faktor lain yang membuat PETI seolah mendapat “angin segar”?
Ancaman Ekologis Nasional
Kerusakan di Kuansing bukan sekadar masalah lokal. Sungai Kuantan yang tercemar bisa berdampak hingga ke wilayah hilir.
Sedimentasi, hilangnya biota sungai, hingga potensi longsor menjadi ancaman nyata. Para ahli lingkungan menyebut kerusakan ini sebagai bom waktu ekologis.
“Kalau dibiarkan, butuh puluhan tahun dan biaya triliunan untuk memulihkan ekosistem Kuansing,” kata seorang akademisi lingkungan dari Universitas Riau.
Jalan Panjang Penegakan Hukum
Hingga kini, belum ada langkah sistematis yang benar-benar menyentuh akar persoalan, mulai dari penindakan tegas terhadap cukong besar di balik operasi PETI, hingga menyediakan alternatif ekonomi bagi masyarakat yang menggantungkan hidup pada tambang ilegal.
Tanpa kombinasi law enforcement dan solusi ekonomi, upaya pemberantasan PETI di Kuansing akan terus menjadi lingkaran setan.
